Penakluk Mungil Teluk Kendari diambang Kisah Kota Lama

CENDANANEWS, Siang itu terik matahari disebuah teluk kota Kendari menjilat kulitku sampai ke pori-pori. Angin berhembus membawa aroma laut menyapaku membikin penasaran untuk datang dan mengarunginya. Pelabuhan kecil tepatnya di kota lama Kendari para awak ‘Johnson’ sebutan untuk sampan penyeberangan sedang menanti rejeki. Mereka menyapa ramah sesiapa yang lewat berharap penumpang untuk memakai jasa mereka. Pak Uci pria berkulit legam separuh baya merayuku untuk mengitari teluk, Cuma 50 ribu saja dia berjanji membawaku berkeliling teluk.
Sampan mungil dengan daya mesin 5,5 PK (Paarden Kracht – Bahasa Belanda = Daya Kuda) bukan tunggangan ideal bagi yang tak terbiasa ditengah laut karena kalau tak menjaga keseimbangan kapal kecil ini mudah oleng. Walaupun begitu menurut pengakuan Pak Uci yang telah 15 tahun menggantungkan hidupnya diteluk Kendari ini belum pernah ada kecelakaan dengan catatan korban jiwa disebabkan oleh moda transportasi ini. “Solidaritas pengemudi Johnson tinggi, kalau ada sejawat kami mengalami kesulitan di perairan ini sudah tugas kami untk menolong” dia meyakinkan saya, “kami juga tak ingin bernasib buruk kalau tak menolong rekan yang kesulitan andaikan naas yang sama menimpa kami” tambahnya.
Aku tak menanggapi kecuali ada rasa salut tentang jiwa gotong royong dan juga rasa sosial tinggi diantara mereka yang notabene merupakan kompetitor dalam bisnis jasa transportasi air itu. Sambil mengobrol aku mengambil foto panorama teluk Kendari yang indah, sebagai upaya membuang rasa was-was karena penumpang tidak dibekali pelampung keselamatan. Entahlah hanya dengan 50 ribu rupiah aku menggantungkan keselamatan jiwaku pada orang yang baru kukenal ini.
Bapak 5 anak ini mengaku telah 10 tahun memiliki sampan yang terbuat dari kayu Langori (Legerstroemia speciosa – di daerah lain disebut Bungur) konon dibawah pohon inilah Buddha Gautama mendapat pencerahan. Pak Uci merogoh kocek 7 juta rupiah untuk memiliki kapal ini dengan tambahan 2,8 juta harga mesinnya walaupun bermerk Honda tetap saja orang Kendari mengasosiasikan kapal mungil ini dengan sebutan Johnson berupa mesin tempel untuk kapal bermotor buatan Amerika Serikat.
Tiap pukul 4 pagi Pak Uci harus segera beranjak dari kasur yang hangat agar bisa menafkahi keluarganya, uap dingin teluk menusuk sampai ketulang pria bertubuh kecil ini, pada saat matahari muncul giliran panas menyengat jadi santapannya sepanjang hari. Perjuangan Pak Uci rasanya sebanding dari mengumpulkan uang receh jasa penumpang Rp.3000,- sampai Rp.5000,- untuk sekali menyeberang hebatnya dia berhasil menyekolahkan kelima anaknya bahkan 2 putranya kini menempuh pendidikan di Universitas Negeri Haluoleo Kendari. Pria yang ditinggal mati ayahnya pada usia 4 tahun ini berkeras supaya keturunannya bernasib lebih baik dari dirinya yang sejak kecil harus mencari nafkah demi bertahan hidup.
Ketika ditanya mengenai rencana pembangunan ‘Jembatan Bahteramas’ yang digagas Pemprov Sulawesi Tenggara ini akan mematikan matapencahariannya Pak Uci hanya pasrah dengan polos dia cuma menjawab masih ada 4-5 tahun lagi jembatan itu baru rampung sebelum menggeser sumber rejekinya. Sebagaimana diberitakan sebelumnya ‘Jembatan Bahteramas’ adalah proyek prestisius Pemprov Sultra bernilai trilyunan rupiah yang akan menghubungkan kedua sisi teluk Kendari, dimana penggusuran kota lama sebagai ‘Urban Simbolism’ kota Kendari akan dikorbankan.
Matanya menatap jauh saat ditanya apa alternatif lain yang akan dilakukan bila menahkodai kapal mungilnya sudah tak menjanjikan. Pak Uci pesimis kalau pemerintah mau memberikan ganti rugi, dia menambahkan pemerintahan era reformasi ini tidak pernah memberikan bantuan apapun kepada dia dan penduduk dikampungnya di Lapulu yang notabene hidup jauh dari kata ‘Sejahtera’. “Entah disunat atau dikorupsi bantuan pemerintah tak pernah kami terima” kesalnya, dia pun menambahkan padahal banyak program bantuan diumbar di media massa mungkin saja di korupsi aparat setempat. Lalu dia mencoba menggali memori bahwa jaman Soeharto pejabat daerah itu tak berani korupsi karena kalau bantuan tak sampai ke rakyat pejabat itu akan dihukum bahkan akan dibunuh, dulu zaman Soeharto kalau nelayan berprestasi akan diberi bantuan beda dengan (pemerintahan) sekarang dia mencontohkan.
Tidak jarang kumendengar keluhan serupa pada saat berbincang dengan rakyat kecil lainnya. Membandingkan perilaku pejabat-pejabat korup dimasa pemerintahan hasil dari gerakan mahasiswa dimana aku juga terlibat didalamnya dengan rezim yang pernah kucaci dan kumaki. Penilaianku rakyat hanya butuh bekerja dan menafkahi keluarganya dengan layak melebihi dari kebutuhan untuk bebas mencaci dan memaki pejabat yang tak disukai. Perjalanan lebih 1 jam berkeliling teluk Kendari ini pun tak terasa walau peluh menetes disela kulitku, dengan saling mengucap terima kasih kamipun berpisah di pelabuhan kota lama di antara puing-puing keserakahan sebuah rezim.
———————————
Sabtu, 21 Februari 2015
Penulis : Gani Khair
Editor : Sari Puspita Ayu
——————————-
Lihat juga...