CENDANANEWS – Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tak terbatas baik dari varian maupun jumlahnya. Hal inilah yang mendorong perilaku para pendahulu kita memanfaatkan sumber daya alam hayati untuk melakukan segala proses kegiatan sehari-hari. Seperti halnya dalam kegiatan estetik seperti melukis, membatik dan menenun. Sejak ribuan tahun lalu nenek moyang bangsa nusantara ini dikenal sebagai pelopor seni rupa yang mematahkan teori sejarawan dunia tentang pusat awal perkembangan seni rupa berasal dari bangsa Eropa. Berusia hampir 40.000 tahun lukisan gua Leang-leang di Maros Sulawesi Selatan menjadi bukti sebagai lukisan figuratif tertua didunia mengalahkan lukisan gua Les Caux dan El Castillo di daratan Eropa.
![]() |
Lukisan Gua Liang Kobori |
Seni lukisan dinding buatan nenek moyang Nusantara ini mampu bertahan melewati puluhan ribu tahun zaman berganti, sementara bahan lukisan dipakai berasal dari sumber alami seperti bahan getah pohon, umbi, dedaunan dan arang. Kebiasaan ini terus menulari leluhur kita selanjutnya melalui budaya tenun dan membatik yang sudah menjadi warisan dunia. Secara tradisi bahan pewarna yang dipakai berasal dari tumbuhan yang tumbuh di bumi nusantara ini.
Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan pewarna makanan dari daun pandan, daun suji, dan kunyit yang terdapat pada sajian makanan kita sehari-hari. Tak jauh berbeda dengan pewarna alami yang digunakan sejak dulunya untuk pembuatan bahan tenun maupun lukisan batik.
![]() |
Pramuji Memberikan Pengarahan Pada Pengrajin |
Ditemui sewaktu memberikan pelatihan pada pengrajin tenun di Dekranasda Sulawesi Tenggara, Pramuji seorang instruktur yang sengaja didatangkan dari DI Yogyakarta owner dari Prambatik Natural Color menjelaskan bahwa pewarna alami yang dipakainya berasal dari kebiasaan para leluhur terdahulu. Melalui usahanya Prambatik Natural Color terus mengkampanyekan penggunaan bahan pewarna alami untuk tekstil karena selain ramah lingkungan bahan pewarna alami memiliki warna eksotis yaitu warnanya tidak menyala namun enak dimata. Pramuji juga menambahkan bahan pewarna alami memiliki efek semakin lama semakin indah beda dengan bahan pewarna sintetik yang memudar.
The Environment Protection Act (EPA) sendiri sejak 1986 mengkampanyekan untuk menolak pewarna sintetik baik pada makanan maupun kosmetik, dalam bidang tekstil AATC sebuah asosiasi pewarna bahan kimia tekstil di Amerika memberi aturan ketat dalam hal penggunaan bahan pewarna sintetik dengan mengeluarkan skala lunturnya warna pada bahan tekstil.
Bahan pewarna sintetik pada industri tekstil mempunyai potensi berbahaya pada limbah buangan karena mencemari lingkungan, selain itu kandungan chrome dan cadmium memberikan efek karsinogenik pada pekerja industri tersebut. Untuk tingkat konsumen walaupun tidak ada data pasti mengenai jumlah penderita alergi dermatitis oleh pewarna sintetik pakaian namun hal ini menjadikan catatan tersendiri para produsen untuk menjadikan pemakaian pewarna alami pada tekstil agar terus dikembangkan. Akibatnya kampanye penggunaan pewarna alami menjadi tren bagi industri ramah lingkungan.
![]() |
Proses Pewarnaan Bahan Alami yang Aman Bagi Manusia |
Di Indonesia sendiri menurut penjelasan Pramuji bahan alami yang digunakan seperti Tom/Tarum atau Indigo (Indigofera tinctoria) adalah tanaman khas Indonesia sebagai bahan penghasil warna biru, bahkan di Pulau Muna Sultra dikenal Lolo sejenis tanaman yang hanya ada di daerah tersebut sudah lazim digunakan. Untuk warna kuning bisa digunakan dari kayu nangka atau bisa juga dari umbi-umbian seperti kunyit. Pada dasarnya nusantara ini masih memiliki segudang varian sumber warna alami yang tak terbatas, hanya saja perlu pengembangan dalam pemrosesannya agar lebih tepat guna dan cepat guna imbuhnya.
Tentunya kita sebagai bangsa Nusantara bisa berbangga dengan tradisi nenek moyang terdahulu, bila kita menghargai dan belajar dari tradisi turun temurun itu tentu kita tak perlu lagi membeli pakaian dari luar negeri hanya untuk prestise apalagi pakaian itu ternyata cuma bekas pakai.
Sabtu, 28 Februari 2015
Jurnalis dan Fotografer : Gani Khair
Editor : Sari Puspita Ayu
Editor : Sari Puspita Ayu