Sejarah Bencana di Maluku dan Upaya Bangun Ketangguhan
Selain itu, ada bencana akibat letusan gunung di Pulau Damer, Kabupaten Maluku Barat Daya, pada 11 September 1659. Bencana itu menimbulkan korban jiwa dan kerusakan di gugusan Pulau Teon-Nila-Serua (TNS) serta memicu tsunami di Pulau Ambon.
Maluku juga menghadapi potensi tsunami non-tektonik, tsunami yang bukan disebabkan oleh gempa.
Hasil penelusuran dan verifikasi zona bahaya BMKG, menunjukkan Pulau Seram yang mencakup wilayah Maluku Tengah, Seram Bagian Barat, dan Seram bagian Timur merupakan wilayah dengan bahaya tsunami non-tektonik cukup tinggi, karena memiliki laut dalam dengan tebing-tebing curam yang sangat rawan longsor.
“Gempa menjadi trigger (pemicu) terjadinya longsor yang kemudian menyebabkan gelombang. Dalam pemodelan, dapat disimpulkan apakah berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Bisa saja tidak, tapi ternyata gempa tersebut malah membuat longsor bawah laut yang kemudian memicu tsunami,” kata Dwikorita.
Hingga saat ini, pun belum ada yang mampu mendeteksi tsunami non-tektonik secara cepat, tepat, dan akurat. Sistem peringatan dini yang ada dibangun berdasarkan dampak guncangan gempa bumi.
Dwikorita mengatakan, bahwa yang bisa dilakukan untuk mengetahui kejadian tsunami non-tektonik, yakni memantau muka air laut menggunakan buoy atau tide gauge, namun cara itu juga dianggap kurang efektif karena alat baru bisa menyampaikan informasi usai kejadian tsunami.
“Karena dipicu oleh longsoran bawah laut ,maka estimasi waktu kedatangan tsunami bisa sangat cepat. Hanya dalam hitungan kurang dari tiga menit, seperti yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah,” katanya.
Karakter tsunami non-tektonik yang cepat tiba di bibir pantai, membuat konsep “20-20-20” (merasakan gempa selama 20 detik, waspada tsunami akan datang dalam waktu 20 menit, jika berada di garis pantai segera mengevakuasi diri ke bangunan atau daerah dengan ketinggian 20 meter) dalam mitigasi tsunami yang diterapkan di Pulau Jawa dan Sumatra, kurang tepat dijalankan di wilayah Maluku.