Sejarah Bencana di Maluku dan Upaya Bangun Ketangguhan
Peta wilayah terdampak tsunami di Indonesia yang dikeluarkan BMKG, memperlihatkan seluruh pesisir pantai di Provinsi Maluku pernah terkena dampak tsunami dalam skala kecil maupun besar, termasuk tsunami yang merusak dan menimbulkan korban jiwa.
Di wilayah Maluku, ada empat sesar besar aktif yang bisa memicu gempa dan tsunami yakni Sesar Buru Utara, Sesar Buru, Sesar Manipa, serta Sesar Bobot yang membentang di wilayah Seram Bagian Timur hingga Tenggara.
BMKG mencatat, kejadian gempa bumi di Maluku utamanya meningkat pada 2019, ketika terjadi 5.101 kali gempa.
Pada 2020 frekuensi gempa bumi di Maluku menurun menjadi 3.239 kali, tetapi masih di atas rata-rata frekuensi gempa di provinsi itu, yang tercatat sekitar 1.000 kali per tahun.
Di antara gempa dan tsunami yang pernah terjadi di Maluku, ada beberapa yang menelan banyak korban jiwa.
Gempa dengan magnitudo 7,8 dan tsunami yang terjadi di Pulau Seram pada 29 September 1899, mengakibatkan 4.000 orang meninggal dunia dan menyebabkan beberapa negeri tenggelam, termasuk Negeri Samasuru dan Amahai di Kabupaten Maluku Tengah.
Selain itu, ada gempa dengan magnitudo 7,8 sampai 8,0 yang meluluhlantakkan Pulau Ambon pada 17 Februari 1674 dan menyebabkan 2.243 orang meninggal dunia.
Gempa dahsyat yang diikuti tsunami dari Laut Banda itu disebut ahli botani asal Jerman, Georg Eberhard Rumphius, sebagai “hari penghakiman” dalam Herbarium Amboinense.
BMKG juga mencatat kejadian gempa magnitudo 7,3 yang disertai tsunami di Maluku pada 8 Oktober 1950, gempa dan tsunami di Ambon pada 29 September 2019, yang menyebabkan 31 orang meninggal dunia dan ribuan rumah serta fasilitas rusak, serta gempa dan tsunami di Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, pada 16 Juni 2021.