Harga Mahal Jadi Kendala Pengembangan Biofuel

Redaktur: Muhsin Efri Yanto

Sekjen Dewan Energi Nasional Dr Djoko Siswanto menjelaskan kendala pengembangan biofuel di Indonesia dalam bincang online tentang kebijakan biofuel, Rabu (5/5/2021) - Foto Ranny Supusepa

JAKARTA — Kendala dalam pengembangan bahan bakar nabati atau biofuel adalah harganya yang masih mahal. Walaupun, alternatif penggunaan bahan bakar nabati ini bisa membantu Indonesia dalam mencapai target zero nett emission.

Sekjen Dewan Energi Nasional Dr Djoko Siswanto menyatakan, dalam Grand Design Strategi Nasional, biofuel merupakan salah satu upaya Indonesia dalam mengurangi porsi penggunaan bahan bakar fosil.

“Saat ini biodiesel sudah B30. Pemerintah sedang mengupayakan untuk B40, bahkan hingga B100. Tapi kendalanya harganya yang masih tinggi, sekitar Rp19 hingga Rp20 ribu. Karena produksinya yang masih dalam skala kecil,” kata Djoko dalam bincang online tentang kebijakan biofuel, Rabu (5/5/2021).

Kalau dari sisi pasokan, Djoko menyatakan fixed stock biodiesel, yaitu minyak kelapa sawit saat ini adalah 46 juta kilo liter.

“Kalau dihitung masih cukup suplai-nya. Biofuel atau secara khusus biodiesel, sudah melebihi target yang tercantum di RUEN. Realisasinya sudah 8,4 juta kilo liter, sementara targetnya 8 juta kilo liter,” ucapnya.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga mengembangkan katalis merah putih dan Pertamina juga sedang merencanakan pembangunan pabrik B-katalisator yang mampu memproduksi bahan bakar cair dari minyak sawit sepenuhnya.

“Saat ini, pemerintah memang tidak hanya mengandalkan biofuel semata. Tapi juga mengupayakan teknologi listrik dan bahan bakar gas,” ucapnya lagi.

Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebutkan kajian dan riset berkaitan kebijakan biofuel adalah karena pengembangan biofuel ini sudah menjadi kebijakan mainstream di Indonesia dan sudah dilakukan sejak 2007. Yang saat itu diambil karena peningkatan harga minyak bumi secara signifikan.

Lihat juga...