الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan Qalam” (QS. Al-Alaq: 19 ayat 4).
Pada umumnya mufassir klasik, hingga dewasa ini menafsirkan kata “qalam” dalam ayat ini dengan pena atau alat tulis. Tentu saja pengertian seperti itu kita dengan mudah menerima jika hanya fokus kepada kata ” qalam”, berbeda hanya dengan ketika kata “qalam” ini kita coba maknai dalam sebuah frase kalimat “perantaraan qalam”. Dari mana sisipan kata “perantaraan” ini diperoleh? Dari firman Allah swt pada surah Asy-Syuura ayat 51;
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.”
Maka pengajaran Allah kepada manusia itu meniscayakan adanya “hijab” atau perantara.
Keniscayaan adanya perantara ini, dikarena manusia tidak dibekali potensi kemampuan untuk melihat langsung Zat Allah Yang Maha Suci, sebagaimana yang Allah sampaikan kepada Nabi Musa as., pada Surah al-A’raf ayat 143;
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ (143)