Sang Santo yang Terbunuh di Aceh
CATATAN RINGAN T. TAUFIQULHADI
Portugis berhasil menaklukkan Malaka pada 1511, dan dengan jatuhnya Malaka, Portugis segera menjadi penguasa Selat Malaka yang sibuk itu, yang sebelumnya dikuasai Kerajaan Pasai dan Pidir (Pidie) di Aceh. Maka dengan demikian, selain harus berhadapan dengan penguasa-penguasa laut Nusantara yang tangguh seperti Aceh, Johor dan Banten, Portugis harus menghadapi Belanda dan Inggris dengan sengitnya. Prancis, tidak dipandang sebagai kekuatan yang serius saat itu. Mereka hanya hadir dengan armada-armada kecil dan berdagang secara normal saja. Dengan demikian, pedagang Prancis biasanya disambut lebih ramah oleh kerajaan-kerajaan pantai utara saat.
Sikap ramah itu bisa saja karena Prancis dianggap tidak berbahaya karena raja “kerajaan kecil” ini tunduk kepada raja Inggris. Itulah yang terjadi dalam kasus Ausgustin de Beaulieu, penjelajah dan laksamana Prancis terkemuka, ketika bertemu penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, pada akhir Januari 1621. Ketika berbicara tentang kehebatan dan besarnya kerajaan Prancis, sultan Aceh itu tersenyum-tersenyum saja.
Perlu diingat, hampir semua pelaut Eropa atau “pencari daerah baru” pada abad tersebut berpenampilan sangat mengenaskan. Selain sangat dekil dan berbau busuk, rata-rata mereka tidak terdidik. Satu-satunya yang dapat dipuji adalah semangat mereka yang menggelora untuk mencari “daerah baru” dan uang yang dijanjikan raja-raja mereka. Hanya meski tidak bisa menulis, makhluk-makhluk dekil ini tetap sangat militan menyebut semua orang lain di luar Eropa itu sebagai manusia biadab.
Beaulieu sebenarnya tak jauh bedanya. Ketika tiba di Aceh, warga di sana melihat sejumlah orang berkulit putih dengan pakaian kusut-masai dan gigi kropos hendak bertemu sultan mereka. Karena mengklaim datang atas nama rajanya dan ingin mengunjungi sultan untuk menyampaikan salam dan hadiah raja Prancis, ia diterima. Tapi sultan memberi syarat, ia hanya berkenan menerima orang-orang yang rapi dan tidak bau.