Komunitas Film Indonesia Bawa Cinema ke Inggris

Kedua, rendahnya pendidikan masyarakat pedesaan di Indonesia. Mengambil contoh Desa Genikan, masyarakat hanya memiliki pendidikan di bangku sekolah dasar, yang menyebabkan minimnya pengetahuan.

Sebagai contoh, adanya cuaca ekstrim hujan deras yang berkepanjangan memaksa mereka untuk menggunakan pestisida yang berlebihan, dan disusul kemarau yang datang lebih awal membuat debit air rendah menyebabkan petani harus bekerja lebih keras di malam hari untuk menyiram pertaniannya. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan solusi apa yang tepat untuk menjaga hasil tanamnya dari acaman gagal panen.

Ketiga, menurut dia, adalah peran besar sosok wanita, istri dari petani, mulai pembibitan, bertani, mengirimkan hasil tani ke pasar, melakukan tawar menawar harga hingga mengurus keluarga dirumah. Ini sebuah poin penting betapa wanita dan anak merupakan sosok penting yang perlu dilibatkan dalam setiap perencanaan pembangunan dari adaptasi perubahan iklim.

Menurut Luciana Coelho, seorang pengacara lingkungan asal Brazil, diskusi berlangsung menarik karena ternyata film dokumenter seperti ini harusnya mendapat perhatian lebih besar dari masyarakat Indonesia. Ia menyoroti peran pemerintah yang tidak terlihat dalam masyarakat kecil dandan penting initiatif lokal serta kolaborasi masyarakat mengatasi isu perubahan iklim dari skala lokal.

Karya dokumenter yang berhasil menyuguhkan fenomena perubahan iklim yang begitu rumit namun mudah dicerna dalam sebuah bentuk film ini diputar di berbagai negara dan mendapatkan banyak penghargaan diantaranya ‘the Special Jury Prize’ pada 2011 Dubai International Film Festival, ‘the Best Debut Documentary’ pada the Almaty International Film Festival 2013, the NETPAC Award pada JAFF 2012, hingga masuk dalam list majalah Rolling Stone Indonesia di tahun 2013 dalam jajaran film Indonesia terbaik dalam satu dekade. (Ant)

Lihat juga...