“Tentara Siber Muslim mengawasi internet selama Pilkada berlangsung. Mereka mencoba melacak, mencari alamat rumah dan mendatangimu secara terang-terangan,” katanya.
Endah memisalkan, kasus persekusi yang menimpa seorang anak di bawah umur, Mario (15) karena memuat status yang dinilai menghina di laman Facebook miliknya. Ia kemudian diserang oleh sekelompok orang dan mengalami penganiayaan.
Hal yang sama juga terjadi pada seorang dokter bernama Fiera Lovita. Karena status di akun Facebook-nya, ia diserang oleh sekelompok orang dan dipaksa meminta maaf, bahkan disuruh untuk menandatangani surat pernyataan yang distempel dengan meterai.
Karena trauma, dokter yang sebelumnya bertugas di RSUD Solok, Sumatera Barat, terpaksa pindah ke Jakarta.
“Mereka menyuruhnya untuk mendatangani surat pernyataan untuk tidak lagi melakukan hal yang sama. Surat itu dibuat seperti dokumen resmi dengan stempel meterai,” ujar Endah.
Anna Cinzia Squicciarini menyatakan pengguna media sosial harus berhati-hati dalam memuat berbagai hal terkait kehidupan pribadinya di media sosial, karena keterbukaan informasi memungkinan setiap orang mengakses informasi penting orang lain.
Dalam paparannya mengenai “Information Disclosure and Privacy Attitudes of Online Users, menurut dia, keterbukaan informasi harus dipandang secara bijaksana.
Pengguna media sosial harus bisa membedakan informasi yang bisa dan tidak dibagikan kepada publik melalui media sosial, agar keamanan pribadinya tetap terjaga.
“Untuk memuat gambar pribadi secara online harus diperhatikan dengan baik, misalnya ada area bagian tubuh yang seharusnya diblur,” kata Squicciarini. (Ant)