MINGGU, 22 JANUARI 2017
ENDE — Saat masyarakat kota cenderung berlomba-lomba membangun rumah berdinding semen, tak dinyana rumah berdinding gedeg dari anyaman bambu masih diminati. Ini terbukti dari bergeliatnya kerajinan tangan ini di dusun Woloare kelurahan Woworena kecamatan Ende Utara kabupaten Ende.
![]() |
Rumah di luar kota Ende yang masih berdinding gedeg |
Puluhan kepala keluarga yang menetap disini masih setia menekuni hidup menjadi pengrajin. Hampir setiap rumah di dusun ini, mudah ditemukan pengrajin yang sedang sibuk berjibaku menganyam bambu di halaman rumah dan ruang tamu.
Stefanus Sea (49), Yosefina Mina (60) salah satu pasangan suami isteri yang tetap setia menekuni pekerjaan ini. Saat ditemui Cendana News, Sabtu (14/1/2017) di rumahnya dusun Woloare, Stefanus terlihat sedang membelah bambu Wulung (Gigantochloa Atroviolacea) sementara sang isteri asyik menganyamnya. Anak bungsu Stefanus pun ikut mengiris bambu panjang yang baru dipotongnya dari kali mati di belakang rumahnya.
“Kami sejak kecil sudah menganyam bambu. Ada yang menenun dan ada juga yang pandai besi. Pekerjaan ini sejak dari nenek moyang dan selalu diwariskan turun temurun. Memang tidak semua, tetapi setiap keluarga pasti ada yang jadi pengrajin gedeg,” ujarnya.
Stefanus dan pengarjin lainnya meyakini, warisan leluhurini merupakan sebuah garis tangan, sebuah bekal hidup. Ini yang membuat mereka seakan dengan sendirinya bisa terampil menganyam walau hanya melihat dan belajar sebentar saja dari orang tua.
“Ini pekerjaan warisan keluhur dan kami yakin selalu saja ada yang membeli karya kami sebab tidak mungkin leluhur kami melihat kami hidup menderita saat melanjutkan pekerjaan yang dulu juga menghidupi mereka,” kata Yosefina penuh keyakinan.
Motif Warisan
![]() |
Gedek hasil karya Stefanus Sea yang sudah dianyam |
Pengerjaan gedeg di Woloare masih dilakukan secara tradisional. Bambu panjang dipotong memakai parang sepanjang 2 meter dan 1,5 meter. Bambu diletakan di tanah beralaskan kayu bulat lalu diiris. Sesudahnya bambu tersebut dipisahkan satu persatu dan diiris hingga tipis agar mudah dianyam. Potongan bambu dijemur sehari hingga dua hari di terik matahari.
“Ada yang kulitnya dikupas dan ada yang tidak. Kalau memakai kulit lebih tahan lama. Tapi semua tergantung selera pembeli,” tutur Stefanus.
Puluhan tahun melakoni aktfitas ini terlihat saat Yosefina dengan lincah dan terampil menyulam bilah bambu mengaitkannya satu dengan lainnya hingga membentuk motif bunga Sidhu (ketupat) berukuran besar dan kecil. Ada juga motif Bintang, Pala, Bunga Manusia atau manusia berpegangan tangan. Motif-motif tersebut melambangkan kebersamaan hidup komunitas warga dusun ini.
Markus Muri (64) yang menekuni usaha ini sejak tahun 1964 saat berumur 12 tahun mengatakan, motif sidhu, bermakna kerukunan antar umat manusia tanpa pandang bulu. Penduduk kampung Woloare beragama Islam dan Katolik yang berasal dari satu etnis yakni etnis Ende. Motif Sidhu melambangkan kebersamaan, ikatan kekerabatan diantara mereka.
Motif bunga bintang lanjutnya, melambangkan pencerahan, memudahkan masyarakat kampung mereka mengais rejeki.Bisa juga diartikan sebagai daya tarik atau penglaris bagi usaha yang ditekuni. Sedangkan motif bunga manusia bermakna keberadaban dimana setiap manusia saling menghargai tanpa melihat asal usul.Manusia berpegangan tangan melambangan semangat atau pesan gotong royong, bergandengan tangan menyelesaikan setiap permasalahan.
“Semua motif memiliki makna atau pesan tersendiri namun pada hakikatnya semua itu melambangkan sebuah kebersamaa, senasib sependeritaan,” terangnya.
Selalu Dibeli
![]() |
Markus Muri salah seorang pengrajin gedeg di dusun Woloare yang sudah 40 tahun lebih menjadi pengrajin gedeg |
Walau tak mengiklankan produk mereka, pembeli dari luar Ende seperti Mbay, Bajawa dan beberapa kabupaten lainnya di pulau Flores bahkan di pulau Timor dan Sumba selalu datang membeli kerajinan tangan ini.
Gedeg hasil produksi Woloare berukuran seragam dengan panjang 2 meter dan lebar 1,5 meter. Namun ada juga yang menganyam sesuai ukuran yang diminta pembeli dengan harga sedikit lebih mahal. Untuk gedeg biasa,pengrajin melepasnya dengan harga 35 ribu rupiah sementara untuk gedeg bermotif dihargai 65 ribu rupiah.
“Untuk yang dua lapis atau dianyam dobel harganya sedikit lebih mahal yakni sekitar 60 ribu rupiah,” beber Markus.
Pembeli yang memesan motif sendiri dan dalam jumlah banyak,pengrajin meminta uang panjar dahulu dan bila pesanan selesai dikerjakan baru diantar atau diambil sendiri. Motif apapaun bisa dengan mudah dikerjakan sebab para pengrajin mengaku sudah terbiasa menganyamnya. Dalam sehari rata-rata setiap pengrajin menghasilkan dua hingga tiga lembar gedeg.
Untuk sebuah rumah berukuran panjang 7 meter dan lebar 5 meter terang Markus, dibutuhkan 22 lembar gedeg sebagai dinding. Gedeg pun bisa dicat beraneka warna setelah dianyam atau dijadikan dinding. Agar lebih kuat dan terlihat rapih,gedek dipaku di kayu dengan dilapisi bambu belah di sisi pinggirnya.
Staff Dinas perindustrian dan Perdagangan kabupaten Ende selaku pendamping kelompok di wilayah ini Hendrikus Reo kepada Cendana News di kantornya mengakui, untuk kabupaten Ende kerajinan gedeg hanya ada di Woloare dan ini sudah berlangsung sejak dahulu.
Untuk bantuan pemberdayaan bebernya,kantornya menggandeng dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi selalu memberikan pelatihan. Untuk tahun 2017 ada bantuan modal dan peralatan dari dana APBD untuk satu kelompok di dusun tersebut. Pengrajin pun kerap dilatih membuat tempat tisu,keranjang dan kurungan ayam.
Sepanjang menyusuri kabupaten Ende, hampir setiap eumah yang berada di pinggiran kota Ende masih mempergunakan dinding berbahan gedeg. Banyak gedeg di cat sesuai selera pemilik rumah sehingga memberi kesan menarik.
Sebagai daerah rawan gempa,di Flores ada baiknya rumah tinggal kembali berdinding gedeg sebab selain lebih murah dan ramah lingkungan, rumah gedeg pun tak kalah cantik dan menarik dibanding rumah sejenis berdinding semen.
Jurnalis : Ebed de Rosary / Editor : ME. Bijo Dirajo / Foto : Ebed de Rosary