Memahami NDC dan Upaya Mempertahankan Suhu Udara Dunia
Redaktur: ME. Bijo Dirajo
“Tercatat dari lebih dari 100 tahun data yang ada, secara global sejak tahun 1880, suhu udara naik 1,1 derajat celcius karena adanya laju konsentrasi karbondioksida yang meningkat. Penelitian saya sendiri yang diterbitkan pada Jurnal Iklim Internasional tahun 2015 menunjukkan data suhu rata-rata permukaan Jakarta sudah naik 1,6 derajat celcius,” papar Siswanto sambil menunjukkan diagram yang menunjukkan hasil penelitiannya.

Bagaimana karbon maupun senyawa turunannya bisa menyebabkan pemanasan global? Siswanto menjelaskan, dalam atmosfer bumi ada suatu selimut gas yang melindungi bumi dari panasnya matahari. Dengan adanya karbon atau senyawa turunannya yang dilepaskan oleh kegiatan manusia, maka panas matahari yang awalnya memiliki gelombang pendek berubah menjadi gelombang panjang yang menyebabkan tidak bisa dapat melewati selimut gas. Akhirnya hal ini menyebabkan panas tersebut bertahan di permukaan bumi.
“Jadi inti dari pemanasan global itu adalah suatu panas di dalam bumi yang tidak dapat keluar, sehingga jadi menumpuk. Kalau kita ingin menghilangkan panas ini adalah dengan melakukan respirasi melalui tumbuhan. Dimana radiasi matahari dan karbondioksida dimanfaatkan dalam proses fotosintesis lalu akan mengeluarkan oksigen. Ketika dunia dipenuhi hutan, maka suhu panas ini bisa dinetralisir. Tapi kalau hutannya tidak ada, maka tidak akan ada yang bisa menetralisir,” urai Siswanto.
Tapi memang kenaikan suhu ini sifatnya irreversible, yaitu suhu yang sudah naik tidak dapat diturunkan. Sehingga yang coba diupayakan oleh Earth Summit Rio De Jeneiro, Protokol Kyoto dan Kesepakatan Paris adalah mempertahankan tingkat karbon dunia di bawah 450 ppm. Dalam artian, suhu udara akan stabil dan tidak mengalami kenaikan.